Dumai, I'm in Laugh...!! (part 1)
Jam sudah menunjukkan pukul 19.20 wib. Aku
masih menunggu kawan-kawanku yang sejak tadi tidak juga muncul batang hidungnya.
Pandanganku tak lepas dari taksi-taksi yang lalu lalang di depanku, sambil
berharap salah satu dari taksi itulah yang mengangkut Ocim, Eri dan Andri dari
kost mereka. Sudah sejak satu jam yang lalu aku duduk sendirian di lobi bandara
internasional Adi Sucipto. Dan sejak satu jam yang lalu pula seharusnya kami
sudah check in untuk bersiap-siap terbang menuju Dumai. Padahal aku masih ingat
betul, kami sudah bersepakat untuk berkumpul di bandara pukul 18.00 tepat. Sudah
sejak dari tadi ku sms mereka bertiga, namun tak satupun membalas. Sudah kucoba
telpon pula mereka bertiga, berkali-kali, namun tak satupun telponku yang
diangkat.
Seketika aku merasa sangat kesal kepada mereka
bertiga. Apa mereka bercanda? Kenapa mereka tak merespon smsku? Kenapa tak ada satupun
yang mengangkat telponku? Kurang ajar betul!.
Pikiran-pikiran negatif mulai muncul
dibenakku. Aku mulai berpikir bahwa mereka bertiga, telah bersekongkol
untuk mengerjaiku. Bahwa mereka sudah ada dibandara sejak satu jam yang lalu,
dan saat ini mereka sedang berada di salah satu sisi bandara, sambil tertawa
puas melihat aku yang sedang duduk sendiri kebingungan, kemudian mereka akan muncul
di depanku dengan dramatis, pada saat-saat injury time, dengan lagak seperti
tidak terjadi apa-apa. Benar-benar tidak lucu sama sekali!.
Jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 19.40 wib dan mereka belum juga muncul. Padahal pesawat yang akan kami tumpangi akan take off pukul 20.00 wib. Aku mulai dilanda gelisah, namun perasaan itu coba kututupi dengan tetap mendengarkan musik dari earphone yang tersambung ke handphone-ku. Di saat waktu semakin sempit, rasa kesal dan gelisah yang sejak tadi menyelimutiku lambat laun bertransformasi menjadi sebuah rasa yang disebut pasrah. Ah, gagal lah semua rencanaku. Rencana untuk Kerja Praktek di Pertamina Dumai. Gagal pula aku merasakan sensasi terbang pertama kali naik pesawat. Konyol sekali.
Kemudian, disaat aku mulai berfikir untuk
pulang ke rumah, tiba-tiba aku mendengar
suara seseorang yang kukenal berteriak memanggilku. Aku menoleh ke arah suara
itu berasal, dan benar saja, Eri datang dengan tergopoh-gopoh sambil membawa
sebuah tas punggung dan sebuah koper kecil. Di belakangnya, berjalan dua
kawanku yang lain, Ocim dan Andri, yang datang dengan tergopoh-gopoh pula. Melihat
mereka bertiga datang, aku tersenyum dengan ekspresi yang entah apa namanya.
Campuran antara kesal, dan lega. Dengan ekspresi seperti orang yang baru saja
berbuat salah, persis seperti ekspresi seorang maling jemuran yang tertangkap
basah oleh warga, Eri kemudian meminta maaf kepadaku karena datang sangat terlambat.
Tanpa basa-basi kami berempat bergegas untuk
segera check in, menuruti panggilan dari petugas bandara yang sejak tadi
memangil-manggil kami dengan suara yang mendayu-dayu. Kalau diterjemahkan ke
dalam bahasa bebas kira-kira bunyinya begini, “ woi bocah-bocah udik! cepatlah
kalian masuk pesawat! Kita sudah mau terbang!”
TO BE CONTINYU...
Komentar
Posting Komentar